01 Oktober 1997

Tak Terkatakan

Kemarin malam aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena hari ini aku harus meninggalkan Taize. Kereta api dari Macon akan berangkat pukul 06.27 ke Lyon. Br. Jang mengatakan bahwa mobil komunitas akan siap pukul 05.30. Karena tidak bisa tidur pukul 04.30 pagi aku nekad mandi, 45 menit kemudian aku bangunkan Julius yang nampaknya tidak “kuat” bangun. Lalu ke kamar Michael dan Bas untuk “say goodbye” dan memberi sedikit sovenir. Nampaknya pukul 05.15 Br. Jang sudah siap di kamarku sambil membantu membereskan barang-barangku. Pukul 05.25 aku berangkat diantar Br. Jang ke Macon. Dalam perjalanan Br. Jang bertanya apakah Pak Gerrit akan menjemputku, dengan nada sedikit malas akau menjawab: “tidak tahu!”. Rupanya Br. Jang tahu suasana hatiku yang tidak menentu. Disatu sisi “ingin pulang”, tapi di sisi yang lain berat rasanya untuk meninggalkan Taize, sehingga Br. Jang menghiburku dengan mengatakan: “Semua orang yang pernah ke Taize pasti pernah mengalaminya!”



29 September 1997

Menjelang Akhir Ziarah

Pukul 9 pagi ini aku mengantar kepulangan Robin. Sambil menunggu bis di depan Cassa kami bermain gitar sampai ramai sekali, seolah lupa bahwa kita harus keep silence di area tertentu, sampai-sampai Br. Hector mengingatkan hal itu.


Pukul 10 pagi, aku pergi ke samping Ojak (CafĂ©), karena Br. Francesco bersiap mewawancaraiku untuk dokumentasi. Setelah itu aku pergi ke Cluny bersama Julius, tapi ternyata hampir semua toko tutup. Sayang memang, aku tidak tahu kalau hari Senin masih merupakan hari libur di Cluny. Akhirnya kuhabiskan saja waktuku untuk jalan-jalan ke L’Abbey (suatu bangunan seminari tertua di Eropa).


28 September 1997

Memahami Realitas

Malam ini perasaanku sungguh berat untuk meninggalkan Taize dalam 3 hari lagi. Aku sangat menghargai Michael dari Thailand yang berusaha mengorganisir pertemuan diantara para semi permanen (mereka yang tinggal di Taize sampai 3 bulan) untuk acara perpisahan, khusus buat aku, Marco, Gary dan Robin dari Afrika Selatan, dan Oey serta Bas dari Thailand. Walaupun akhirnya acara itu berjalan di luar program.


Perjumpaanku dengan Br. Thomas sore tadi ternyata amat sangat mengesankan. Kami bercerita banyak tentang kebakaran hutan (yang sempat jadi headline selama seminggu berturut-turut dalam International Herald Tribune), juga tentang wayang sebagai sarana kritik politik dan kuningisasi. Sampai-sampai aku heran, begitu banyak Br.Thomas tahu tentang Indonesia. Aku menduga ini karena korespondensi beliau dengan Pak Gerrit.


Juga perjumpaanku dengan Sr. Bep dari Belanda membuatku merenung tentang bagaimana harus meresponi realitas hidup. “Aku suka/senang ini”, “aku tidak suka/senang itu” seringkali mudah di ucapkan seseorang dalam meresponi suatu realitas. Tapi seringkali kita tidak menyadari bahwa ucapan itu mempunyai dampak/konsekuensi yang sangat buruk jika akhirnya menjadi latah dalam meresponi realitas hidup. Tanpa sadar ketika kita berkata : “aku tidak suka/senang hal ini”, seringkali kita akan cepat-cepat menjauh dari realitas itu, tanpa membuat kita berpikir “aku akan menghadapi realitas itu untuk mencari apa sebenarnya arti dari semua itu, sebagai suatu bekal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi. Jangan membayangkan terlalu jauh realitas yang akan terjadi karena semua itu memang belum menjadi kenyatan. Tapi kita harus menyadari kemungkinan apa yang akan kita hadapi. Janganlah meletakkan beban sebelum realitas itu ada. Kalaupun hal itu sempat membuat kita takut, ingatlah akan pengharapan. Iman adalah pengharapan terhadap apa yang belum semuanya menjadi realitas. Hidup akan menjadi lebih indah kalau kita tinggal dan menikmati setiap realitas yang ada dengan bersiap menghadapi setiap tantangan. Kemampuan “survival’ kita akan berkembang, dan itu semua memungkinkan kita untuk menuju realitas yang lebih baik yang kita inginkan bersama untuk membuat dunia ini menjadi tempat menyenangkan untuk dihuni.


Siang tadi Br. Jang dan Br. Agustino menawari aku untuk melanjutkan saja tidur di silence house, tawaran ini kutolak. Bagiku adalah lebih baik untuk menghabiskan sisa waktu tinggalku di Taize di rumah Tieull, tempat kami biasa tidur bersama rekan yang lain.


14 September 1997

Atas Nama Persaudaraan


Hari Sabtu malam yang lalu aku tidur, tapi hanya seolah-olah tidur. Semua itu kulakukan hanya untuk melegakan teman-teman sekamarku yang pukul 5 pagi tadi harus melakukan perjalanan pulang ke Mesir. Mereka adalah Sam dan Ragai.


Atas nama persaudaraan aku melakukan semua itu, seolah-olah tidur, tapi sebenarnya sama sekali tidak bisa tidur. Aku sungguh teringat akan jalinan persaudaraan yang begitu indah yang selama ini telah terjalin diantara kami. Barulah pukul 3-5 dini hari aku benar-benar bisa tidur sejenak, untuk selanjutnya mengantarkan Sam dan Ragai ke tempat perhentian bis yang menuju Macon di pinggiran atau bahkan mungkin di perbatasan desa Taize, dalam dinginnya udara pagi.


Pukul 10.23 pagi, kembali aku “harus” mengantar Morcos dan Amir yang juga dari Mesir. Ternyata perpisahan dengan teman-teman sekamar ini cukup “menyakitkan”. Sebelum pulang Morcos memberikan kepadaku sebuah kartu kecil bergambar icon Yesus. Di balik kartu itu dia menulis: “Kiranya engkau menikmati hidup dengan penuh sukacita bersama Yesus”. Sangat mengharukan, di tengah “beratnya” tantangan mereka mengikut Yesus di Mesir, mereka masih dapat menguatkan orang lain. Hal ini menuntut aku berpikir ulang mengenai realitas mengikut Yesus. Akhirnya aku terlambat mengikuti Ekaristi, atas nama persaudaraan.


Terima kasih patut kuucapkan untuk Sam, Ragai, Morcos dan Amir, karena melalui merekalah aku berkesempatan menikmati liturgi doa harian dalam bahasa Arab dari gereja Koptik Mesir yang mereka adakan di Orthodox Chapel di belakang Gereja Rekonsiliasi.



07 September 1997

Deus ibi est

Pagi sampai siang ini aku bekerja di danau St. Etienne. Senang sekali rasanya, udara segar, dan matahari bersinar terang. Sayup-sayup kudengar suara bebek, entah kenapa tiba-tiba aku ingat film kartun : donal duck yang bawel dan mengundang tawa itu.


Dalam keasyikan suasana tersebut aku ingat “interview with Br. Roger” hari Sabtu malam yang lalu, setelah selama 4 hari beliau tidak berada bersama dengan kami dalam doa bersama di Taize. Ternyata sangat berat juga bagi beliau untuk meninggalkan Taize. Tapi bagi Br. Roger itu bukanlah masalah untuk menghabiskan waktu bersama dengan Maria Sonali seorang gadis berusia 21 tahun yang diberikan oleh Tuhan kepada komunitas lewat Mother Theresa.


Saat itu juga kembali aku terkenang akan berita duka yang kudengar tentang kepergian “mother of love: Theresa” pada hari Jumat yang lalu tanggal 5 September. Dunia telah kehilangan seorang “bunda kasih” yang menghabiskan hidupnya untuk mewartakan kasih Allah kepada dunia lewat Calcuta.


Ternyata berita duka itu yang telah membuat seorang temanku dari Pakistan “berwajah lain” ketika Jumat malam yang lalu aku bertemu dia di La morada sehabis Evening Prayer.


Minggu ini dunia tersentak dengan meninggalnya 2 tokoh besar dunia, Lady Diana dan Mother Theresa. Keduanya adalah “pejuang cinta”, tapi hanya Tuhan saja yang tahu apa di balik semua yang telah mereka lakukan.


Aku tidak bisa mengerti bagaimana Mother Teresa bisa menghabiskan seluruh hidupnya dengan membagikan cinta. Apakah itu pemberian Tuhan kepadanya secara istimewa? Atau sebenarnya juga merupakan pemberian Tuhan kepada semua orang? Itulah pertanyaan terbesar dalam diriku ketika aku diperhadapkan pada pilihan: mengikut Yesus, berarti hidup dengan cinta dan kasih kepada semua orang. Ubi Caritas et amor, ubi caritas Deus ibi est. Where there is charity, selfless love. Where there is charity, God is truly there. Lagu itu memberiku sedikit “titik terang”, mungkin cinta kepada diri sendiri itu telah mengaburkan benih-benih cinta yang sebenarnya Tuhan berikan kepada semua orang, ya..kepada semua orang. Bukankah semua orang diciptakan dengan citra Allah?

04 September 1997

Beriman Secara Kritis

Seorang teman perempuan dari Jerman dalam kelompok Bible Group bertanya: “Apakah kita percaya bahwa Yesus dilahirkan dari perawan Maria tanpa persetubuhan dan hanya Roh Allah saja yang ’menghamili’ Maria?” Masalah teologis yang sulit untuk dijawab. Tapi bukankah itu suatu pertanyaan yang tidak salah bagi orang percaya? Aku memang sempat tersentak dengan pertanyaan itu. Tapi bukankah itu hal yang wajar dalam proses beriman? Dari keraguan menuju kepastian, karena iman adalah peziarahan.


Ternyata banyak orang Jerman yang kritis, berani menanyakan sesuatu yang seringkali dianggap tabu oleh kebanyakan orang Timur. Dan nampaknya hal itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia teologi Protestan. Walau seringkali buru-buru dicap negatif oleh kalangan Kristen tertentu di Indonesia dan diberi predikat: liberal !!!! Sebelum dipahami konteks pergumulannya.

14 Agustus 1997

Doa: Jalan Masuk Kedalam Hidup

less the Lord my soul, who leads me into life, “Masuk ke dalam hidup!” tiba-tiba saja kalimat lagu itu menghentakku saat silent dalam Midday Prayer. Mungkin itu adalah pergumulanku dalam usaha mencari arti hidup. Sulit memang, tapi bukankah Allah sendiri yang akan memimpinku? Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam tubuh manusia, agar tubuh menjadi hidup. Kesadaran akan kehidupan sebagai anugerah mungkin akan sedikit mengurangi beban perjuanganku untuk menjalani hidup yang penuh dengan realitas yang kadang menyakitkan ini.


Masuk ke dalam hidup berarti harus berani untuk tinggal, diam dan menjalani realitas hidup itu sendiri, di mana Allah hadir di dalamnya. Kehidupan di Taize, membuat aku belajar untuk masuk ke dalam realitas hidup itu sendiri, yaitu berkerja tanpa mengabaikan doa, dan doa tanpa mengabaikan kerja. Di mana doa bisa menjadi semangat dan sumber inspirasi dalam doa dan sebaliknya pergumulan terhadap realitas menjadi bagian dari doa.


11 Agustus 1997

Misteri Langit

Sehabis Evening Prayer aku sempatkan berdiam diri di depan Roman Church; melihat ke langit, merenung. Indahnya malam membuatku bergumam: “Indahnya langit adalah misteri, baik buruknya dunia adalah realitas yang harus dihadapi !”


10 Agustus 1997

"Terkapar"

Pagi ini dalam perayaan Ekaristi ada penahbisan bruder, yaitu Br. David, entah kenapa acara ini tidak pernah diberitahukan sebelumnya dan mengalir begitu saja. Tanpa ada publikasi dan woro-woro yang gencar kalau akan ada penahbisan bruder, semua berlangsung dengan sangat sederhana dan tidak terlalu istimewa, di hari yang menurut sebagian orang tentu dipandang sebagai sesuatu yang sangat khusus sehingga kadang perlu dirayakan secara istimewa.


Aku hampir tak bisa mengerti, mengapa masih saja ada orang yang menurut ukuran Eropa “hidup penuh prospek masa depan” itu mau memilih hidup selibat untuk menjadi kekasih semua orang, semua bangsa dalam komunitas ekumenis yang universal di Taize. “Terkapar” seperti yang dilakukan Br. David, merupakan simbol ketidakberdayaan dan penyerahan diri secara total. Hal yang sungguh sangat sulit dilakukan bagi orang yang biasa hidup dengan “fasilitas”. “Tinggalkanlah semua dan ikutlah Aku!” perkataan Yesus itukah yang menyebabkannya?????

Indonesia

Setelah perayaan cahaya kebangkitan Kristus dalam Evening Prayer, Br. Roger berbicara tentang refleksinya yang biasa disebut dengan acara “interview with Br. Roger”. Dan nama Indoneisa disebut serta mendapatkan bunga yang dibawa oleh anak kecil berkulit hitam, nampaknya dari Afika yang tinggal bersama orang tuanya di Taize karena kebaikan komunitas. Belakangan aku baru tahu bahwa itu adalah simbol doa dan keprihatinan bersama terhadap perdamaian dan persatuan bagi umat manusia, khususnya bagi Indonesia.

07 Agustus 1997

Kenikmatan doa

Saat Evening Prayer hari ini, aku sungguh-sungguh dapat merasakan kenikmatan doa di Taize. Tapi apakah hanya kenikmatan saja yang aku cari??? Bukankah itu egoisitas? Tapi mungkin kenikmatan itu perlu dialami sebelum bertindak dalam praksis. Kenikmatan mungkin bisa menyemangati perjuangan.

06 Agustus 1997

Belajar menerima

Pagi ini aku masuk ke dalam kelompok Bible Introduction. Aku merasa senang dengan kelompokku. Mereka sangat tertarik ketika aku berbicara tentang pluralitas di Indonesia.


Dalam keheningan setelah Evening Prayer, Br. Jang mendekatiku dan mengajakku mengikuti dia untuk diperkenalkan kepada Br. Roger di tengah keheningan malam dalam gedung gereja. Aku diberkati oleh Br. Roger. Wajahnya sudah keriput, tapi sungguh, masih memancarkan keceriaan. Tanda salib yang diberikan Br. Roger di dahiku, mengingatkan bahwa aku pun dipanggil untuk ikut serta dalam perjuangan komunitas mereka, menjadi duta Kerajaan Allah, yang memungkinkan benih-benih rekonsiliasi itu bersemai.


Keluar dari Gereja Rekonsiliasi setelah Evening Prayer, aku bertemu dengan 3 orang pemuda Polandia yang hobi “minum”, ketika aku menikmati keheningan malam di tikungan dekat Le Puy. Pertemuanku dengan mereka sempat membuatku sulit tidur, mengapa masih saja ada orang yang merindukan minum alkohol di komunitas religius seperti ini. Akhirnya aku sadar, walau bagaimanapun juga ini Eropa, dan ada perbedaan budaya antara aku dan mereka. Tapi yang mengherankan, aku tidak habis mengerti mengapa mereka sangat ketakutan sekali ketika akan minum minuman beralkohol di Taize yang juga Eropa ini. Dari Yusuf akhirnya aku baru tahu, bahwa mereka hanya diperbolehlan minum minuman beralkohol hanya 1 gelas setiap hari. Ya, ternyata Komunitas Taize melarang peziarah untuk minum beralkohol lebih dari 1 gelas sehari, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan orang lain, apabila seseorang kebanyakan “minum”. Untuk hal ini aku patut menghargai mereka yang mau “membatasi kebiasaan mereka” untuk kebaikan bersama.


Perjumpaanku dengan Piti dari Bangladesh membuat aku semakin sadar tentang realitas hidup. Bahwa Pendeta adalah juga manusia yang juga butuh fasilitas yang kadang tidak hanya sekedarnya, karena Pendeta juga bisa dipahami sebagai “jabatan” sebagai “hamba Allah’, tapi apakah memang begitu, sehingga harus untuk menerima fasilitas lebih? Entahlah, mungkin aku pun bisa menjadi demikian!


04 Agustus 1997

Memasuki Keterasingan

Keterasingan masih menyelimuti hari-hari pertamaku di Taize, Tapi itu sungguh tak mengganggu hidupku. Karena keterasingan adalah wajar dan harus terjadi untuk masuk dalam suatu komunitas hidup yang baru, begitu pikirku. Ketika seseorang menyadari akan keterasingannya, ia akan menemukan arti hidup bersama orang lain. Yesus pun di atas kayu salib mengalami keterasingan karena penolakan manusia dan Allah. Tapi akhirnya dia masuk dalam kemuliaan, persekutuan dengan Allah.


02 Agustus 1997

Tiba di Taize

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-21, berulang tahun di tengah “keterasingan” di pesawat, juga di tempat yang belum ku kenal yang akan kutuju. Pukul 14.00, saya sampai di Lyon Airport dan dijemput oleh Chas (Charlie) seorang berkebangsaan Inggris yang berkunjung ke Taize selama 2 minggu dengan mobil pribadinya. Dengan perjalanan darat yang relatif ngebut, akhrinya tiba juga di desa Taize kurang lebih pukul 16.30 waktu setempat. Disambut dengan keramahan khas Asia oleh Br. Jang dari Korea dan mengantarkanku ke kamar dengan situasi yang serba asing.


Hari pertama semuanya sungguh terasa asing, tapi syukur, aku tidak mengalami jet lag. Pertemuanku dengan Johannes Linandi dan Yusuf dari Indonesia membuat aku bersemangat untuk masuk ke dalam peziarahan di dunia “asing” ini.