14 Agustus 1997

Doa: Jalan Masuk Kedalam Hidup

less the Lord my soul, who leads me into life, “Masuk ke dalam hidup!” tiba-tiba saja kalimat lagu itu menghentakku saat silent dalam Midday Prayer. Mungkin itu adalah pergumulanku dalam usaha mencari arti hidup. Sulit memang, tapi bukankah Allah sendiri yang akan memimpinku? Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam tubuh manusia, agar tubuh menjadi hidup. Kesadaran akan kehidupan sebagai anugerah mungkin akan sedikit mengurangi beban perjuanganku untuk menjalani hidup yang penuh dengan realitas yang kadang menyakitkan ini.


Masuk ke dalam hidup berarti harus berani untuk tinggal, diam dan menjalani realitas hidup itu sendiri, di mana Allah hadir di dalamnya. Kehidupan di Taize, membuat aku belajar untuk masuk ke dalam realitas hidup itu sendiri, yaitu berkerja tanpa mengabaikan doa, dan doa tanpa mengabaikan kerja. Di mana doa bisa menjadi semangat dan sumber inspirasi dalam doa dan sebaliknya pergumulan terhadap realitas menjadi bagian dari doa.


11 Agustus 1997

Misteri Langit

Sehabis Evening Prayer aku sempatkan berdiam diri di depan Roman Church; melihat ke langit, merenung. Indahnya malam membuatku bergumam: “Indahnya langit adalah misteri, baik buruknya dunia adalah realitas yang harus dihadapi !”


10 Agustus 1997

"Terkapar"

Pagi ini dalam perayaan Ekaristi ada penahbisan bruder, yaitu Br. David, entah kenapa acara ini tidak pernah diberitahukan sebelumnya dan mengalir begitu saja. Tanpa ada publikasi dan woro-woro yang gencar kalau akan ada penahbisan bruder, semua berlangsung dengan sangat sederhana dan tidak terlalu istimewa, di hari yang menurut sebagian orang tentu dipandang sebagai sesuatu yang sangat khusus sehingga kadang perlu dirayakan secara istimewa.


Aku hampir tak bisa mengerti, mengapa masih saja ada orang yang menurut ukuran Eropa “hidup penuh prospek masa depan” itu mau memilih hidup selibat untuk menjadi kekasih semua orang, semua bangsa dalam komunitas ekumenis yang universal di Taize. “Terkapar” seperti yang dilakukan Br. David, merupakan simbol ketidakberdayaan dan penyerahan diri secara total. Hal yang sungguh sangat sulit dilakukan bagi orang yang biasa hidup dengan “fasilitas”. “Tinggalkanlah semua dan ikutlah Aku!” perkataan Yesus itukah yang menyebabkannya?????

Indonesia

Setelah perayaan cahaya kebangkitan Kristus dalam Evening Prayer, Br. Roger berbicara tentang refleksinya yang biasa disebut dengan acara “interview with Br. Roger”. Dan nama Indoneisa disebut serta mendapatkan bunga yang dibawa oleh anak kecil berkulit hitam, nampaknya dari Afika yang tinggal bersama orang tuanya di Taize karena kebaikan komunitas. Belakangan aku baru tahu bahwa itu adalah simbol doa dan keprihatinan bersama terhadap perdamaian dan persatuan bagi umat manusia, khususnya bagi Indonesia.

07 Agustus 1997

Kenikmatan doa

Saat Evening Prayer hari ini, aku sungguh-sungguh dapat merasakan kenikmatan doa di Taize. Tapi apakah hanya kenikmatan saja yang aku cari??? Bukankah itu egoisitas? Tapi mungkin kenikmatan itu perlu dialami sebelum bertindak dalam praksis. Kenikmatan mungkin bisa menyemangati perjuangan.

06 Agustus 1997

Belajar menerima

Pagi ini aku masuk ke dalam kelompok Bible Introduction. Aku merasa senang dengan kelompokku. Mereka sangat tertarik ketika aku berbicara tentang pluralitas di Indonesia.


Dalam keheningan setelah Evening Prayer, Br. Jang mendekatiku dan mengajakku mengikuti dia untuk diperkenalkan kepada Br. Roger di tengah keheningan malam dalam gedung gereja. Aku diberkati oleh Br. Roger. Wajahnya sudah keriput, tapi sungguh, masih memancarkan keceriaan. Tanda salib yang diberikan Br. Roger di dahiku, mengingatkan bahwa aku pun dipanggil untuk ikut serta dalam perjuangan komunitas mereka, menjadi duta Kerajaan Allah, yang memungkinkan benih-benih rekonsiliasi itu bersemai.


Keluar dari Gereja Rekonsiliasi setelah Evening Prayer, aku bertemu dengan 3 orang pemuda Polandia yang hobi “minum”, ketika aku menikmati keheningan malam di tikungan dekat Le Puy. Pertemuanku dengan mereka sempat membuatku sulit tidur, mengapa masih saja ada orang yang merindukan minum alkohol di komunitas religius seperti ini. Akhirnya aku sadar, walau bagaimanapun juga ini Eropa, dan ada perbedaan budaya antara aku dan mereka. Tapi yang mengherankan, aku tidak habis mengerti mengapa mereka sangat ketakutan sekali ketika akan minum minuman beralkohol di Taize yang juga Eropa ini. Dari Yusuf akhirnya aku baru tahu, bahwa mereka hanya diperbolehlan minum minuman beralkohol hanya 1 gelas setiap hari. Ya, ternyata Komunitas Taize melarang peziarah untuk minum beralkohol lebih dari 1 gelas sehari, agar tidak terjadi hal-hal yang merugikan orang lain, apabila seseorang kebanyakan “minum”. Untuk hal ini aku patut menghargai mereka yang mau “membatasi kebiasaan mereka” untuk kebaikan bersama.


Perjumpaanku dengan Piti dari Bangladesh membuat aku semakin sadar tentang realitas hidup. Bahwa Pendeta adalah juga manusia yang juga butuh fasilitas yang kadang tidak hanya sekedarnya, karena Pendeta juga bisa dipahami sebagai “jabatan” sebagai “hamba Allah’, tapi apakah memang begitu, sehingga harus untuk menerima fasilitas lebih? Entahlah, mungkin aku pun bisa menjadi demikian!


04 Agustus 1997

Memasuki Keterasingan

Keterasingan masih menyelimuti hari-hari pertamaku di Taize, Tapi itu sungguh tak mengganggu hidupku. Karena keterasingan adalah wajar dan harus terjadi untuk masuk dalam suatu komunitas hidup yang baru, begitu pikirku. Ketika seseorang menyadari akan keterasingannya, ia akan menemukan arti hidup bersama orang lain. Yesus pun di atas kayu salib mengalami keterasingan karena penolakan manusia dan Allah. Tapi akhirnya dia masuk dalam kemuliaan, persekutuan dengan Allah.


02 Agustus 1997

Tiba di Taize

Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-21, berulang tahun di tengah “keterasingan” di pesawat, juga di tempat yang belum ku kenal yang akan kutuju. Pukul 14.00, saya sampai di Lyon Airport dan dijemput oleh Chas (Charlie) seorang berkebangsaan Inggris yang berkunjung ke Taize selama 2 minggu dengan mobil pribadinya. Dengan perjalanan darat yang relatif ngebut, akhrinya tiba juga di desa Taize kurang lebih pukul 16.30 waktu setempat. Disambut dengan keramahan khas Asia oleh Br. Jang dari Korea dan mengantarkanku ke kamar dengan situasi yang serba asing.


Hari pertama semuanya sungguh terasa asing, tapi syukur, aku tidak mengalami jet lag. Pertemuanku dengan Johannes Linandi dan Yusuf dari Indonesia membuat aku bersemangat untuk masuk ke dalam peziarahan di dunia “asing” ini.