11 Juli 2008

Lebih Katolik

Kalau tidak salah dalam rangka perayaan Pantekosta tahun 1997 yang lalu Komisi Kerohanian Fakultas Theologi Sanata Dharma mengadakan Ibadah meditatif dengan lagu-lagu Taize bertempat di sebuah pendopo di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus-Kentungan. Dan kami dari Fakultas Theologi Duta Wacana juga diundang dalam acara tersebut. Cukup banyak juga peserta yang datang dari F.Th. Duta Wacana.


Berdoa di alam terbuka, demikianlah kesan yang kami dapat, karena ibadah memang diadakan di sebuah bangunan menyerupai Pendopo, tanpa dinding yang memisahkan kami dari alam sekitar. Dekorasi terkesan alami sekali, di bagian depan hanya ada salib tanpa corpus (tanpa patung tubuh Yesus) yang dikelilingi dengan pijaran lilin yang dibungkus lampion berwarna-warni. Sederhana, tapi sangat indah dan mendukung suasana doa.


Beberapa bulan kemudian, giliran kami di UKDW mengadakan Ibadah meditatif dengan lagu-lagu Taize. Dan kami mengundang para frater dari Seminari Tinggi Santo Paulus-Kentungan untuk ikut terlibat dalam doa tersebut. Seorang kakak tingkat kami yang kebetulan sangat minat di bidang seni membantu kami melukis sebuah gambar Yesus (corpus) wujud wayang dengan ukuran yang cukup besar. Kemudian lukisan tersebut dibentangkan pada salib dari bambu yang dipancang. Salib itu disorot dengan lampu dari bawah supaya menimbulkan nuansa remang dan teduh. Suasana itu sangat membantu kami dalam ibadah doa tersebut.


Dalam beberapa kesempatan perjumpan dengan para frater dari “Kentungan” di acara yang sama, tercetuslah kesan dari seorang frater: “Kalian itu bagaimana toh! Waktu kami mengadakan Ibadah meditatif dengan lagu Taize, sengaja kami tidak menggunakan salib yang pakai corpus untuk dekorasi. Karena kami sadar bahwa kami juga mengundang teman-teman dari Protestan. Kami takut kalau digunakannya salib yang ber-corpus itu akan mengganggu teman-teman Protestan. Tapi ketika kami ke Duta Wacana, kok malah dekorasinya dengan salib yang ber-corpus?? Kok kalian ini malah lebih Katolik dari orang Katolik???” Saya tertawa mendengar komentar itu dan saya mengatakan: “Justru kami menggunakan salib yang ber-corpus itu untuk menghormati dan menolong teman-teman Katolik agar merasa ‘at home’ di tempat kami.”


Wah, ternyata kami ini sedang berlomba-lomba untuk saling membuat orang lain ‘at home’ dengan menyambut mereka yang berbeda tradisi kekristenan itu sebagai suatu saudara dan bagian dari keluarga kita sendiri, keluarga Tubuh Kristus. Seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 12:10 : “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat”.


Dalam kenyataan hidup kita yang serba majemuk ini, mungkin sudah sepantasnya kita hidup untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada, baik dalam hal agama, maupun tradisi kekristenan yang berbeda. Saling mengasihi dan saling mendahului-lah dalam memberi hormat, seperti yang dipesankan Paulus untuk menciptakan kehidupan dalam kasih. Perjumpaan, sharing dan diskusi dengan kelompok yang berbeda dengan kita, termasuk yang berbeda agama sekalipun, janganlah selalu dicurigai sebagai kompromi iman. Agar dengan demikian benih perdamaian itu mendapat tempat untuk bersemai.






10 Juli 2008

Monggo Pinarak Mriki!

Liburan semester pada tahun ketiga di Fakultas Theologia UKDW biasanya diisi dengan program live-in di desa-desa sekitar Gunung Kidul. Program ini merupakan program lapangan dari kuliah Teologi Sosial. Dalam program tersebut kami harus tinggal bersama dengan penduduk desa selama + 10 hari dan melakukan observasi/pengamatan terhadap kehidupan masyarakat setempat, khususnya keadaan sosial dan perekonomian mereka. Untuk selanjutnya kami harus membuat proposal yang berisi program pemberdayaan yang memungkinkan untuk dilaksanakan beserta refleksi teologis yang harus dipresentasikan untuk selanjutnya diserahkan kepada LPM Duta Wacana untuk ditindaklanjuti, tentu saja kalau memungkinkan, atau tepatnya ada danannya…barangkali…..


Selama di Gunung Kidul, kami dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 orang, dengan minimal seorang yang bisa berbahasa Jawa, yang berperan sebagai penerjemah bila dibutuhkan. Seiring dengan berjalannya waktu ada sebuah kelompok dimana hanya ada satu orang yang bisa berbahasa Jawa dengan baik, seorang yang lain hanya bisa bahasa ngoko. Ketiga orang yang lain berasal dari Sumatera dan Ambon.


Seiring dengan berjalannya waktu, nampaknya ada ungkapan yang sangat berkesan bagi kelompok teman kami itu ketika berjumpa dengan orang di desa tersebut. Setiap melewati rumah penduduk, mereka selalu mendengar kalimat: “Monggo mbak, mas, pinarak mriki!” (Mari, mbak, mas, mampir kemari. Sebenarnya arti harafiahnya: Mari mbak, mas, duduk disini). Tanpa sadar, keempat teman yang lain menganggap kalimat itu sebagai suatu sapaan hormat yang harus diucapkan pada seseorang ketika berjumpa dengan orang lain. Karena itu ketika teman-teman kami dari Ambon dan Sumatera berjalan dan berpapasan dengan penduduk di jalan, mereka mengucapkan: “Monggo Pak, Bu, pinarak mriki!” Tentu bisa dibayangkan betapa terheran-herannya penduduk desa itu ketika bertemu dengan temanku itu, masakkan disuruh mampir dan duduk di jalanan……..ha…ha…..ha….. Tapi bagaimanapun juga penduduk desa itu tetap menyambut dengan senyuman ramah, mungkin karena mereka maklum temanku itu bukan orang Jawa.


Pada suatu sore, tibalah waktunya untuk mandi, ada tiga teman perempuan yang antri untuk mandi di bedeng dekat sungai. Seorang teman dari Kroya baru saja selesai mandi, sekarang tiba giliran teman yang berasal dari Sumatera. Setelah dia selesai mandi, dia mencoba membungkus tubuhnya dengan handuk besar sebelum berdiri dan beranjak keluar dari bedeng. Namun sebelum selesai dia membungkus tubuhnya dan dengan posisi setengah berdiri, muncullah rombongan bapak-bapak yang baru saja pulang dari ladang sambil membawa cangkul. Melihat rombongan bapak-bapak itu, teman saya ini menjadi salah tingkah. Entah malu, entah kenapa……tiba-tiba dengan tersenyum, temanku ini menyambut senyuman para bapak ini dan dengan percaya diri menyapa mereka: “Monggo pak, pinarak mriki………!!!!” Wah, bisa dibayangkan bagaimana reaksi para bapak itu mendengar sapaan temanku ini. Mereka hanya senyum-senyum dan mungkin sedikit tersipu malu, tapi juga heran… Masak, sudah jelas ada di bedeng untuk mandi kok malah mengajak mampir ke dalam..!


Mungkin orang bisa berkomantar : “Itulah akibatnya, kalau orang sok ramah!” Ada benarnya memang komentar itu. Tapi adalah lebih benar untuk belajar bersikap menghargai dan menyambut orang lain yang mungkin sama sekali belum pernah dikenalnya dengan ketulusan. Mungkin bahasa bisa menjadi kendala dalam menyapa, menghargai dan menyambut sesama yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Tapi perbedaan yang ada, baik bahasa ataupun suku juga bisa dijadikan bukan kendala. Karena siapapun kita dan apapun juga perbedaan yang ada pada kita, selama kita masih mengaku diri sebagai manusia, dan menyadari kemanusiaan kita, berarti kita masih punya hati. Hati adalah sesuatu yang universal. Sekalipun warna kulit berbeda, golongan darah berbeda, bahasa berbeda, tapi manusia punya hati nurani yang memungkinkan kita berkomunikasi, ya….. berkomunikasi dengan bahasa hati, bahasa cinta, bahasa universal umat manusia. Di tengah semaraknya bahasa kekerasan di sekitar kita yang dapat menenggelamkan bahasa cinta, bahasa nurani, sebaiknya kita ikut bersama dengan teman saya di dalam keterbatasannya berseru: Monggo “pinarak mriki” Roh Suci, Roh Katresnan!…Come Holly Spirit!, O come Spirit of love and stay within us!…….. Mampirlah kemari Roh Kudus, Roh Cinta Kasih dan tinggallah dalam diri kami!


09 Juli 2008

Lobang Neraka

Setiap malam menjelang tidur, saya bersama seorang teman, sebut saja GVT (Ingat bukan TGV: kereta api cepat yang di Prancis itu!) yang kebetulan tinggal di kamar kedua setelah kamarku punya kebiasaaan cuci kaki dan sikat gigi bersama sebelum tidur. Suatu malam, kurang lebih jam 22.00, temanku itu mengajak untuk cuci kaki dan sikat gigi bersama. Tapi karena saya masih nglembur dan membuat tugas yang belum selesai, saya suruh dia duluan.


Kira-kira 30 menit kemudian, dia mengetuk kamarku. Ketika kubuka, aku lihat dia menenteng kacamatanya dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan kirinya serta dengan wajah sangat lucu, karena dia tidak berkacamata. Lalu aku bertanya : “Ngapain kacamatamu!” Dengan enteng dan polos dia menjawab: “Kacamataku masuk lobang neraka!” Aku masih belum tahu apa maksudnya, setelah ku-interogasi, ternyata jelaslah bahwa kacamatanya terkena musibah dan jatuh ke lobang Water Closet, ketika dia “punya hajat”…. ha..ha….ha………..


Setelah mendengar “musibah” tersebut, aku diajaknya berunding tentang bagaimana “memberikan pertolongan” kepada kacamatanya untuk bisa dipakai kembali. Lalu mulailah kami melakukan proses sterilisasi terhadap “korban lobang neraka” tersebut. Proses pertama dengan direndam air panas yang dicampur rinso, lalu sabun antiseptik, dan terakhir direndam dengan cairan pengharum pakaian. Keseluruhan proses tersebut memakan waktu kurang lebih 45 menit, cukup merepotkan memang, tapi apa daya, supaya kacamata yang sudah terperosok dalam “lobang neraka” itu dapat digunakan lagi dengan nyaman, perlu proses melelahkan yang harus dilalui.


Kisah itu mengingatkanku betapa beratnya proses hidup yang harus dilalui oleh seseorang untuk menuju pemurnian atau sterilisasi bagi setiap orang yang jatuh dalam lobang neraka dalam arti yang sebenarnya, yaitu tipu daya iblis : roh pementingan diri, penaklukan serta roh-roh lain yang datangnya bukan dari Allah, tapi justru jauhkan kita dari “gambar“Allah. Ada harga yang harus dibayar dan proses melelahkan yang harus dijalani untuk menuju pertobatan. Dan untuk itulah Yesus mau mati dan merepotkan diri sebagai pembuka jalan bagi pertobatan. Masuk dalam lobang neraka? Siapa mau? Tapi kalau sudah terlanjur jatuh…, ya….harus mau ikut proses sterilisasi dalam Yesus supaya kita menjadi sempurna sebagaimana Bapa yang di sorga adalah sempurna (Lih. Mat 5:48). Kata “sempurna” di sini bukan berarti jadi “super Christian” tapi menjadi manusia yang sesuai dengan fungsinya sebagai manusia, yaitu gambar Allah di dunia. Seperti kacamata yang masuk “lobang neraka” itu perlu disterilkan agar nyaman dipakai lagi dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya.







































07 Juli 2008

Membuat Setan

Ketika masing tinggal di Asrama Fakulas Teologia dalam kompleks kampus UKDW, tengah malam merupakan situasi yang menyenangkan serta serba tidak bisa diduga. Maksudnya bisa biasa-biasa saja (semua penghuni tertidur), tapi juga bisa terjadi sesuatu yang luar biasa. Yang terakhir ini bisa terjadi kalau ada yang kelaparan di tengah malam, lalu membangunkan temannya dan terciptalah suatu kreativitas.


Suatu malam kebetulan saya belum tidur dan ngumpul di salah satu kamar teman di unit Putra bagian depan. Kebetulan tema pembicaraan kita adalah sama: kita kelaparan. Memang benar, bagi anak Teologi, kelaparan selalu menimbulkan “kreativitas”. Muncullah ide untuk “mengambil” nangka yang ada di kompleks taman Eden di tengah Fakultas Theologi. Untuk menuju ke sana berarti harus ke luar dari gerbang asrama yang terkunci (alias loncat pagar) atau menerobos unit Putri untuk dapat jalan tembus ke taman Eden, di mana banyak pohon nangka bisa didapat. Entah bagaimana, akhirnya nangka itu sudah terhidang di depan kami. Saya yakin ini pasti keahlian seorang teman dari Irian Jaya yang memanjat pohon nangka itu. Setelah kita kekenyangan makan nangka….tangan pun kena getahnya…. Disinilah awal kreativitas itu. Untuk hilangkan getah itu hanya bisa dengan minyak tanah, tapi dapur terkunci. Akhirnya ada usulan agar pakai bedak saja. Maka tim “pencuri” nangka pun segera dilepotin dengan bedak pada tangannya, bahkan sampai ke mukanya…. Tiba-tiba muncul ide untuk menakut-nakuti teman yang belum tidur yang ada di unit Putra bagian belakang.


Rencana segera disusun, beberapa teman yang berlepotan bedak, membungkus diri dengan selimut sehingga nampak seperti pocongan…ha..ha.. Lalu seorang teman yang lain melemparkan sisa-sisa nangka itu ke atas supaya jatuh kembali dan menimbulkan suara yang berdebam: “Duam!” di samping ruang TV unit Putra. Teman yang lain mengintip reaksi beberapa teman di kamar ujung Selatan (paling dekat dengan bunyi yang kami ciptakan) mereka mulai bereaksi : Tolah-toleh ke kiri dan kekanan”, maka “tim setan” kami segera mengendap-endap persis di depan meja belajar mereka. Nampaknya mereka sudah akan beranjak ke tempat tidur. Ketika melihat bayangan “setan-setan” kami, ada yang segera bereaksi menarik selimut, membuang muka seolah tidak melihat (walau ekspresi wajahnya terlihat pucat–ketakutan), bahkan ada yang segera berdoa, …ha..ha..ha….kami berhasil menakut-nakuti mereka. Pada pagi harinya, mulailah kami pancing-pancing untuk mendengarkan respon dan komentar-komentar mereka. Nampaknya kami berhasil….! Karena memang legenda tentang “setan-setan” di kompleks Asrama Teologi bukanlah komoditi baru.


Lucu memang, kami para mahasiswa teologi, katanya calon Pendeta yang harus mengusir kuasa kegelapan dan setan-setan “sang penguasa”di angkasa itu malahan justru menjadi orang-orang yang paling ulung menciptakan “setan-setan”.


Nampaknya perlu diwaspadai, jangan-jangan sesuatu yang nampak lucu itu lama-lama kehilangan kelucuannya dan jadi mengerikan karena saking ahlinya membuat “setan-setan-an” yang lucu, bisa bosan “membuat setan-setanan”, lalu malah jadi setan beneran yang menakutkan. Lebih ironis lagi kalau sudah jadi setan beneran,

tapi tidak sadar kalau sudah menjadi setan beneran, karena hidup sudah mapan (apalagi dengan embel-embel : Pendeta!). Marilah para “pembuat setan yang kreatif”, kita saling mendoakan dan mengingatkan agar kelak kita tidak jadi setan-setan beneran yang berseliweran di gereja. Semoga kisah ini selalu ingatkan kita untuk tidak jadi setan beneran di gereja-Nya. Semoga……..!