29 September 1997

Menjelang Akhir Ziarah

Pukul 9 pagi ini aku mengantar kepulangan Robin. Sambil menunggu bis di depan Cassa kami bermain gitar sampai ramai sekali, seolah lupa bahwa kita harus keep silence di area tertentu, sampai-sampai Br. Hector mengingatkan hal itu.


Pukul 10 pagi, aku pergi ke samping Ojak (CafĂ©), karena Br. Francesco bersiap mewawancaraiku untuk dokumentasi. Setelah itu aku pergi ke Cluny bersama Julius, tapi ternyata hampir semua toko tutup. Sayang memang, aku tidak tahu kalau hari Senin masih merupakan hari libur di Cluny. Akhirnya kuhabiskan saja waktuku untuk jalan-jalan ke L’Abbey (suatu bangunan seminari tertua di Eropa).


28 September 1997

Memahami Realitas

Malam ini perasaanku sungguh berat untuk meninggalkan Taize dalam 3 hari lagi. Aku sangat menghargai Michael dari Thailand yang berusaha mengorganisir pertemuan diantara para semi permanen (mereka yang tinggal di Taize sampai 3 bulan) untuk acara perpisahan, khusus buat aku, Marco, Gary dan Robin dari Afrika Selatan, dan Oey serta Bas dari Thailand. Walaupun akhirnya acara itu berjalan di luar program.


Perjumpaanku dengan Br. Thomas sore tadi ternyata amat sangat mengesankan. Kami bercerita banyak tentang kebakaran hutan (yang sempat jadi headline selama seminggu berturut-turut dalam International Herald Tribune), juga tentang wayang sebagai sarana kritik politik dan kuningisasi. Sampai-sampai aku heran, begitu banyak Br.Thomas tahu tentang Indonesia. Aku menduga ini karena korespondensi beliau dengan Pak Gerrit.


Juga perjumpaanku dengan Sr. Bep dari Belanda membuatku merenung tentang bagaimana harus meresponi realitas hidup. “Aku suka/senang ini”, “aku tidak suka/senang itu” seringkali mudah di ucapkan seseorang dalam meresponi suatu realitas. Tapi seringkali kita tidak menyadari bahwa ucapan itu mempunyai dampak/konsekuensi yang sangat buruk jika akhirnya menjadi latah dalam meresponi realitas hidup. Tanpa sadar ketika kita berkata : “aku tidak suka/senang hal ini”, seringkali kita akan cepat-cepat menjauh dari realitas itu, tanpa membuat kita berpikir “aku akan menghadapi realitas itu untuk mencari apa sebenarnya arti dari semua itu, sebagai suatu bekal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi. Jangan membayangkan terlalu jauh realitas yang akan terjadi karena semua itu memang belum menjadi kenyatan. Tapi kita harus menyadari kemungkinan apa yang akan kita hadapi. Janganlah meletakkan beban sebelum realitas itu ada. Kalaupun hal itu sempat membuat kita takut, ingatlah akan pengharapan. Iman adalah pengharapan terhadap apa yang belum semuanya menjadi realitas. Hidup akan menjadi lebih indah kalau kita tinggal dan menikmati setiap realitas yang ada dengan bersiap menghadapi setiap tantangan. Kemampuan “survival’ kita akan berkembang, dan itu semua memungkinkan kita untuk menuju realitas yang lebih baik yang kita inginkan bersama untuk membuat dunia ini menjadi tempat menyenangkan untuk dihuni.


Siang tadi Br. Jang dan Br. Agustino menawari aku untuk melanjutkan saja tidur di silence house, tawaran ini kutolak. Bagiku adalah lebih baik untuk menghabiskan sisa waktu tinggalku di Taize di rumah Tieull, tempat kami biasa tidur bersama rekan yang lain.


14 September 1997

Atas Nama Persaudaraan


Hari Sabtu malam yang lalu aku tidur, tapi hanya seolah-olah tidur. Semua itu kulakukan hanya untuk melegakan teman-teman sekamarku yang pukul 5 pagi tadi harus melakukan perjalanan pulang ke Mesir. Mereka adalah Sam dan Ragai.


Atas nama persaudaraan aku melakukan semua itu, seolah-olah tidur, tapi sebenarnya sama sekali tidak bisa tidur. Aku sungguh teringat akan jalinan persaudaraan yang begitu indah yang selama ini telah terjalin diantara kami. Barulah pukul 3-5 dini hari aku benar-benar bisa tidur sejenak, untuk selanjutnya mengantarkan Sam dan Ragai ke tempat perhentian bis yang menuju Macon di pinggiran atau bahkan mungkin di perbatasan desa Taize, dalam dinginnya udara pagi.


Pukul 10.23 pagi, kembali aku “harus” mengantar Morcos dan Amir yang juga dari Mesir. Ternyata perpisahan dengan teman-teman sekamar ini cukup “menyakitkan”. Sebelum pulang Morcos memberikan kepadaku sebuah kartu kecil bergambar icon Yesus. Di balik kartu itu dia menulis: “Kiranya engkau menikmati hidup dengan penuh sukacita bersama Yesus”. Sangat mengharukan, di tengah “beratnya” tantangan mereka mengikut Yesus di Mesir, mereka masih dapat menguatkan orang lain. Hal ini menuntut aku berpikir ulang mengenai realitas mengikut Yesus. Akhirnya aku terlambat mengikuti Ekaristi, atas nama persaudaraan.


Terima kasih patut kuucapkan untuk Sam, Ragai, Morcos dan Amir, karena melalui merekalah aku berkesempatan menikmati liturgi doa harian dalam bahasa Arab dari gereja Koptik Mesir yang mereka adakan di Orthodox Chapel di belakang Gereja Rekonsiliasi.



07 September 1997

Deus ibi est

Pagi sampai siang ini aku bekerja di danau St. Etienne. Senang sekali rasanya, udara segar, dan matahari bersinar terang. Sayup-sayup kudengar suara bebek, entah kenapa tiba-tiba aku ingat film kartun : donal duck yang bawel dan mengundang tawa itu.


Dalam keasyikan suasana tersebut aku ingat “interview with Br. Roger” hari Sabtu malam yang lalu, setelah selama 4 hari beliau tidak berada bersama dengan kami dalam doa bersama di Taize. Ternyata sangat berat juga bagi beliau untuk meninggalkan Taize. Tapi bagi Br. Roger itu bukanlah masalah untuk menghabiskan waktu bersama dengan Maria Sonali seorang gadis berusia 21 tahun yang diberikan oleh Tuhan kepada komunitas lewat Mother Theresa.


Saat itu juga kembali aku terkenang akan berita duka yang kudengar tentang kepergian “mother of love: Theresa” pada hari Jumat yang lalu tanggal 5 September. Dunia telah kehilangan seorang “bunda kasih” yang menghabiskan hidupnya untuk mewartakan kasih Allah kepada dunia lewat Calcuta.


Ternyata berita duka itu yang telah membuat seorang temanku dari Pakistan “berwajah lain” ketika Jumat malam yang lalu aku bertemu dia di La morada sehabis Evening Prayer.


Minggu ini dunia tersentak dengan meninggalnya 2 tokoh besar dunia, Lady Diana dan Mother Theresa. Keduanya adalah “pejuang cinta”, tapi hanya Tuhan saja yang tahu apa di balik semua yang telah mereka lakukan.


Aku tidak bisa mengerti bagaimana Mother Teresa bisa menghabiskan seluruh hidupnya dengan membagikan cinta. Apakah itu pemberian Tuhan kepadanya secara istimewa? Atau sebenarnya juga merupakan pemberian Tuhan kepada semua orang? Itulah pertanyaan terbesar dalam diriku ketika aku diperhadapkan pada pilihan: mengikut Yesus, berarti hidup dengan cinta dan kasih kepada semua orang. Ubi Caritas et amor, ubi caritas Deus ibi est. Where there is charity, selfless love. Where there is charity, God is truly there. Lagu itu memberiku sedikit “titik terang”, mungkin cinta kepada diri sendiri itu telah mengaburkan benih-benih cinta yang sebenarnya Tuhan berikan kepada semua orang, ya..kepada semua orang. Bukankah semua orang diciptakan dengan citra Allah?

04 September 1997

Beriman Secara Kritis

Seorang teman perempuan dari Jerman dalam kelompok Bible Group bertanya: “Apakah kita percaya bahwa Yesus dilahirkan dari perawan Maria tanpa persetubuhan dan hanya Roh Allah saja yang ’menghamili’ Maria?” Masalah teologis yang sulit untuk dijawab. Tapi bukankah itu suatu pertanyaan yang tidak salah bagi orang percaya? Aku memang sempat tersentak dengan pertanyaan itu. Tapi bukankah itu hal yang wajar dalam proses beriman? Dari keraguan menuju kepastian, karena iman adalah peziarahan.


Ternyata banyak orang Jerman yang kritis, berani menanyakan sesuatu yang seringkali dianggap tabu oleh kebanyakan orang Timur. Dan nampaknya hal itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia teologi Protestan. Walau seringkali buru-buru dicap negatif oleh kalangan Kristen tertentu di Indonesia dan diberi predikat: liberal !!!! Sebelum dipahami konteks pergumulannya.