28 September 1997

Memahami Realitas

Malam ini perasaanku sungguh berat untuk meninggalkan Taize dalam 3 hari lagi. Aku sangat menghargai Michael dari Thailand yang berusaha mengorganisir pertemuan diantara para semi permanen (mereka yang tinggal di Taize sampai 3 bulan) untuk acara perpisahan, khusus buat aku, Marco, Gary dan Robin dari Afrika Selatan, dan Oey serta Bas dari Thailand. Walaupun akhirnya acara itu berjalan di luar program.


Perjumpaanku dengan Br. Thomas sore tadi ternyata amat sangat mengesankan. Kami bercerita banyak tentang kebakaran hutan (yang sempat jadi headline selama seminggu berturut-turut dalam International Herald Tribune), juga tentang wayang sebagai sarana kritik politik dan kuningisasi. Sampai-sampai aku heran, begitu banyak Br.Thomas tahu tentang Indonesia. Aku menduga ini karena korespondensi beliau dengan Pak Gerrit.


Juga perjumpaanku dengan Sr. Bep dari Belanda membuatku merenung tentang bagaimana harus meresponi realitas hidup. “Aku suka/senang ini”, “aku tidak suka/senang itu” seringkali mudah di ucapkan seseorang dalam meresponi suatu realitas. Tapi seringkali kita tidak menyadari bahwa ucapan itu mempunyai dampak/konsekuensi yang sangat buruk jika akhirnya menjadi latah dalam meresponi realitas hidup. Tanpa sadar ketika kita berkata : “aku tidak suka/senang hal ini”, seringkali kita akan cepat-cepat menjauh dari realitas itu, tanpa membuat kita berpikir “aku akan menghadapi realitas itu untuk mencari apa sebenarnya arti dari semua itu, sebagai suatu bekal untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi. Jangan membayangkan terlalu jauh realitas yang akan terjadi karena semua itu memang belum menjadi kenyatan. Tapi kita harus menyadari kemungkinan apa yang akan kita hadapi. Janganlah meletakkan beban sebelum realitas itu ada. Kalaupun hal itu sempat membuat kita takut, ingatlah akan pengharapan. Iman adalah pengharapan terhadap apa yang belum semuanya menjadi realitas. Hidup akan menjadi lebih indah kalau kita tinggal dan menikmati setiap realitas yang ada dengan bersiap menghadapi setiap tantangan. Kemampuan “survival’ kita akan berkembang, dan itu semua memungkinkan kita untuk menuju realitas yang lebih baik yang kita inginkan bersama untuk membuat dunia ini menjadi tempat menyenangkan untuk dihuni.


Siang tadi Br. Jang dan Br. Agustino menawari aku untuk melanjutkan saja tidur di silence house, tawaran ini kutolak. Bagiku adalah lebih baik untuk menghabiskan sisa waktu tinggalku di Taize di rumah Tieull, tempat kami biasa tidur bersama rekan yang lain.


Tidak ada komentar: