08 Agustus 2008

Aksi bagi Perubahan Iklim: Desakan Moral

AKSI BAGI PERUBAHAN IKLIM:

SEBUAH DESAKAN MORAL BAGI KEADILAN

(Liputan Ecumenical Celebration on Climate Change

And Discussion Panel for the Faith Communities in Bali)

Oleh: Esaol Agustriawan



Pengantar

Pada tanggal 22 April 2008, kita memperingati hari bumi. Isu utama yang diangkat pada peringatan tersebut banyak terkait dengan masalah pemanasan global. Secara sederhana, pemanasan global disebabkan karena adanya gas-gas buangan yang berlebihan pada lapisan atmosfer pelindung bumi. Dalam taraf normal, lapisan pelindung tersebut akan memantulkan kembali sebagian panas matahari yang mengenai permukaan bumi. Pantulan ini membuat suhu di permukaan bumi menjadi cukup hangat dan nyaman bagi kehidupan. Reaksi ini biasa disebut dengan efek rumah kaca. Akan tetapi, aktivitas industri dengan penggunaan energi fosil (berbahan bakar minyak, batu bara dan sejenisnya yang tidak dapat diperbaharui) telah menyebabkan bertambahnya gas karbon dioksida di lapisan pelindung bumi. Belum lagi penggundulan hutan telah menghilangkan kemampuan alami hutan untuk menyerap karbon dioksida. Bertambahnya gas-gas buangan, utamanya karbon dioksida pada lapisan pelindung bumi mengakibatkan kemampuan lapisan pelindung bumi untuk menangkap dan memantulkan panas matahari kembali ke bumi ini menjadi bertambah. Inilah yang membuat bumi menjadi semakin panas. Pemanasan bumi secara global ini mengakibatkan lapisan es yang ada di kutub meleleh dan permukaan air laut meningkat. Lebih jauh lagi, pemanasan global ini akan mempengaruhi keseimbangan alam dan rusaknya siklus iklim. Salah satu konsekuensi dari rusaknya keseimbangan alam dan siklus iklim adalah kerawanan pangan.


Mencermati dampaknya yang mengancam kehidupan global inilah, maka masalah pemanasan global dan perubahan iklim ini menjadi perhatian internasional. Oleh karena itu, pada tanggal 3-14 Desember 2007, sebuah pertemuan besar berskala Internasional, Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim-United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), diadakan di Denpasar, Bali. Pertemuan tersebut dihadiri oleh berbagai perwakilan pemerintah dan beberapa kelompok lintas sektoral untuk mencari kesepakatan bersama mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Dalam pertemuan tersebut, hadir pula delegasi dari kelompok-kelompok keagamaan tingkat Internasional, salah satunya Dewan Gereja Dunia-World Council of Churches (WCC)




WCC: Pentingnya Paradigma Baru yang Berpihak pada yang Paling Lemah & Miskin

Bersamaan dengan pertemuan UNFCC, pada tanggal 11 Desember 2007, Dewan Gereja Dunia-World Council of Churches bersama Gereja Kristen Protestan di Bali menyelenggarakan Ecumenical Celebration bertempat di Gereja Internasional Nusa Dua (GKPB Bukit Doa-Kompleks Puja Mandala, Nusa Dua, Bali). Tujuan pertemuan tersebut adalah untuk mendengar perspektif dari masyarakat setempat terkait dengan isu perubahan iklim. Diskusi dengan kelompok keagamaan (komunitas beriman) setempat ini akan menjadi masukan WCC dalam sidang pleno tingkat tinggi antar pemerintah. Pertemuan ekumenis tersebut dihadiri oleh perwakilan dari beberapa gereja, termasuk dari GKI, yaitu: Pdt. Yolanda P., utusan Sinwil Jabar Barat, Esaol Agustriawan, utusan Sinwil Jateng dan Pdt. Simon Filanthropa, utusan Sinwil Jatim.


Pertemuan ekumenis ini dibuka dengan sambutan oleh ketua delegasi WCC dalam COP13-CMP3*) di UNFCC , yaitu Lic. Elias Cristostomo Abramides (Argentina), juga anggota delegasi lain seperti: Dr. Guillermo Kerber (Brazil), Ms. Nafisa Goga D’ Souza (India) dan dari Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) diwakili oleh Pdt. Dr. Richard Daulay (Sekjen PGI). Dalam sambutannya, mereka mengingatkan bahwa perubahan iklim yang sangat berdampak pada kehidupan di bumi ini merupakan konsekuensi dari gaya hidup manusia. Gaya hidup modern yang diikuti dengan semangat konsumerisme telah melahirkan masalah pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Berbicara mengenai siapa yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim, tidak lain adalah masyarakat miskin. Ironisnya, mereka justu kelompok masyarakat yang tidak menyumbang terjadinya pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim. Akan tetapi, mereka harus menanggung beban perubahan iklim atas perbuatan kelompok masyarakat lainnya. Delegasi WCC dari India mencontohkan situasi India yang mengalami lonjakan pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan. Namun, jurang (gap) antara yang miskin dan yang kaya juga bertambah lebar. Hal ini menunjukan pertumbuhan ekonomi tidak berarti telah terjadinya pemerataan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang diserahkan pada mekanisme pasar telah mendorong eksploitasi alam dan aktivitas produksi secara berlebihan. Aktivitas produksi yang berlebihan dan tidak terkontrol ini adalah penyebab utama terjadinya perubahan iklim. Sementara itu, masyarakat miskin, yang tidak memiliki kekuatan untuk bertahan dan melawan dampak perubahan iklim akan hidup semakin menderita. Mereka tidak memiliki dana dan teknologi untuk bertahan karena kemiskinan mereka. Padahal, kehidupan mereka justru sangat bersahabat dengan alam. Mereka tidak menggunakan pendingin ruangan (AC) ketika hawa panas. Mereka tidak menggunakan pemanas air (water heater) untuk mandi. Bahkan masih banyak diantara mereka yang tidak menggunakan listrik, tidak memiliki kendaraan bermotor, tidak termakan budaya konsumtif dalam berbelanja hasil produksi pabrik-pabrik yang mengeluarkan emisi karbon dan menguras sumber daya energi. Realitas tersebut memperlihatkan ketidakadilan yang sekaligus merupakan ancaman bagi keberlangsungan kehidupan. Oleh karena itu, masalah tersebut seharusnya juga menjadi perhatian komunitas umat beriman. Sambutan dari perwakilan delegasi WCC dan perwakilan PGI tersebut sekaligus ajakan untuk peduli kepada mereka yang paling menjadi korban dan terkorbankan karena perubahan iklim.





“Adakah kau menderita bersama isi dunia yang menderita dicekam takut terhadap kemusnahan? Adakah engkau menangis………… bersama tangis dunia?” Itulah kata-kata reflektif dari lagu yang dilantunkan dalam rangkaian kebaktian ekumenis yang dipimpin oleh Pdt. I Gede Eka Santosa, sebagai Pendeta dari Jemaat penerima. Kebaktian tersebut dikemas secara kontekstual dengan kultur Bali yang kental dengan berbagai simbol. Prosesi kebaktian ini diawali dengan tarian Bali, The Angel Dance, yang dapat dimaknai sebagai sebuah ajakan untuk mengembangkan kehidupan semesta yang selaras untuk menyembah Sang Khalik. Sementara itu, dalam prosesi sembah syukur, para penari membawa bunga dan menghampiri tiap umat untuk membagi dan menyematkan bunga di telinga. Selain itu, penyampaian Sabda Allah juga didahului dengan prosesi peletakan pohon di depan Alkitab yang terbuka di depan altar oleh pengkotbah. Pohon tersebut dapat dimaknai sebagai symbol harapan akan kehidupan sekaligus komitmen bagi kehidupan. Beberapa hari setelah pertemuan ini berakhir, para delegasi WCC dan perwakilan masyarakat lintas sektoral termasuk kelompok keagamaan rencananya akan melakukan penanaman pohon. Kebaktian ekumenis ini diakhiri dengan konser singkat lagu-lagu bertema “Tangisan Bumi” yang diciptakan oleh Pdt. Abdi Widhyadi dari GKI Sinwil Jatim.



Keadilan Iklim: Masa Depan bagi Kehidupan

Setelah kebaktian usai, dimulailah diskusi panel yang dipandu oleh Paula Clifford dari Christian Aid yang hadir sebagai anggota salah satu delegasi WCC dalam UNFCC. Pada kesempatan itu, diputarkan video presentasi dari Dr. Rowan Williams, Uskup Canterbury-Pemimpin Gereja Anglikan Inggris- yang khusus dipersiapkan bagi pertemuan kelompok-kelompok keagamaan menjelang berlangsungnya UNFCC. Dalam presentasinya, ia menegaskan tentang karakter etis dan moralitas Kristen dengan berefleksi dari Allah yang telah menciptakan alam semesta dengan segala isinya ini sebagai sesuatu yang baik. Allah menciptakan alam semesta ini agar semua ciptaan bisa bersukacita dan hidup selaras di dalamnya. Oleh karena itu, ketika manusia melihat ciptaan lainnya hanya dalam rangka untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya dan membiarkan keserakahan dan ketamakan merajalela, maka manusia menjadi semakin jauh dari kehendak Allah. Selanjutnya, menurut Dr. Rowan Williams, berbicara mengenai etika kristani, kita tidak dapat melepaskan diri dari masalah keadilan, karena disitulah cinta kasih Allah terejawentahkan. Lebih jauh lagi, berbicara tentang keadilan dalam kaitannya dengan perubahan iklim, ada dua hal yang perlu diperhatikan:


Pertama, keadilan Allah itu tidak terbatas pada koridor waktu. Cinta dan anugerah Allah adalah untuk semua ciptaan dan untuk sepanjang masa. Apabila kita mengambil sesuatu dari alam dan melakukan sesuatu terhadap alam sehingga membawa dampak buruk dan menyengsarakan generasi berikutnya, berarti kita telah melakukan ketidakadilan terhadap generasi berikutnya. Ketika manusia pada masa kini hanya memikirkan kepentingan untuk pemenuhan kebutuhan kekinian saja tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan anak-cucu yang hidup di masa kemudian, berarti manusia masa kini telah berlaku tidak adil bagi keberlangsungan kehidupan generasi berikutnya.Oleh karena itu, ketika kita berbicara mengenai perubahan iklim, sebenarnya kita sedang mendesak diri kita sendiri untuk berefleksi tentang keadilan Allah dan mewujudnyatakannya di dunia ini.



Kedua, terkait dengan keadilan Allah yang harus diwujudnyatakan itu, pertanyaan penting berikutnya adalah bagaimana kita bisa berperan serta secara bersama-sama untuk mengontrol dan mengurangi dampak buruk dari perubahan iklim tanpa harus mengorbankan yang lain, khusunya mereka yang miskin.

Nampaknya, pernyataan ini merupakan sebuah kritik atas alternative solusi yang hangat dibicarakan yaitu mengenai mekanisme perdagangan emisi karbon. Mekanisme ini dilakukan dengan memberikan kompensasi tertentu oleh negara-negara maju penghasil karbon yang menyebahkan pemanasan global kepada negara-negara miskin/berkembang yang mempunyai cadangan hutan untuk menetralisir karbon buangan dari negara-negara maju. Visi moral yang ditekankan oleh Dr. Rowan Williams adalah bagaimana agar penyelesaikan masalah perubahan iklim dilakukan secara adil dan tidak didasarkan pada pertimbangan ekonomis yang akhirnya hanya mengorbankan kelompok masyarakat miskin. Bagaimana agar keadilan itu diberlakukan dengan mencari kesejahteraan, kedamaian bersama dengan cara-cara yang penuh penghargaan dan bermartabat tanpa harus mengorbankan masyarakat miskin. Untuk itu, setiap kita harus mengontrol bahaya besar yang sedang mengintai kita ini secara bersama-sama. Oleh karena itu, kita, khususnya Negara-negara maju, sebagai masyarakat kaya penghasil karbon/polusi agar menahan diri dan berkorban dengan mau mengurangi kenyamanan hidupnya. Semua itu perlu dilakukan demi keberlangsungan kehidupan bersama sekarang dan generasi kita berikutnya.



Nyepi, Sabat: Langkah Reflektif bagi Perubahan Gaya Hidup

Pada sesi berikutnya, Bp. Ida Bagus (perwakilan masyarakat Hindu Bali) menjelaskan tentang konsep keselarasan hidup dengan alam dalam agama Hindu Bali. Masyarakat Hindu Bali, memiliki kalender khusus berisi pantangan-pantangan yang harus dipatuhi oleh umat Hindu dalam memperlakukkan alam. Misalnya, kapan boleh menebang pohon, dan prasayarat-prasyarat apa yang harus dipenuhi sebelum melakukannya. Juga, mengenai konsep Nyepi, yang merupakan proses refleksi batin dan aksi yang terkait erat dengan pemulihan alam. Selanjutnya, diskusi tersebut berkembang pada konsep Sabat yang sebenarnya memiliki makna yang tidak jauh beda dengan Nyepi. Agama Yahudi, juga Kristen mengenal konsep Sabat, juga tahun Yobel. Di mana ada periode waktu tertentu, tanah diistirahatkan dari proses produksi. Pengistirahatan tersebut bermakna bagi tanah atau bumi untuk kembali menyehatkan dirinya sendiri. Selain itu, pengistirahatan juga bermakna untuk menjaga kesadaran manusia bahwa bumi atau tamah bukanlah semata-mata alat produksi yang menjadi obyek eksplotasi semata. Ada saatnya dimana kita harus berbagi kehidupan dengan ciptaan yang lain. Terkait dengan hal itu, Paula Clifford dari Christian Aid menegaskan bahwa konsep religius tentang Nyepi, Sabat ini merupakan sebuah ajakan untuk perubahan gaya hidup. Kita diajak untuk belajar mengendalikan diri dengan tidak mengikuti gaya hidup konsumtif. Semua itu perlu dilakukan demi sebuah keberlangsungan hidup (sustainability) tanpa harus mengorbankan dan mengeksploitasi yang lain.


Dalam diskusi interaktif dengan para peserta, muncul kompleksitas dari tindakan praktis untuk mengurangi pemanasan global yang menjadi penyebab perubahan iklim. Seorang peserta mengangkat tentang efek domino dari pengurangan energi dan ajakan untuk tidak menjadi konsumtif bisa berdampak pada menurunnya produktivitas dari pabrik-pabrik. Menurunnya produktivitas dari pabrik-pabrik ini pada akhirnya juga akan berdampak pada lesunya ekonomi dan bahkan mungkin pemutusan hubungan kerja bagi para buruh pabrik. Hal ini berarti para buruh pabrik dan masyarakat miskin lainnya akan terkena imbasnya. Menanggapi pernyataan tersebut, ketua delegasi WCC untuk UNFCC menegaskan pentingnya untuk mengembangkan sebuah konsep industri/berekonomi yang berkelanjutan. Di mana dalam proses tersebut semua pihak perlu menahan diri agar dalam mendapatkan profit perlu mempertimbangkan keseimbangan dan kelestarian alam. Apabila industri mendapatkan profit yang besar tapi alam rusak dan sumber daya tak tersedia lagi, maka keberlangsungan industri itu sendiri juga tidak akan bertahan lama.



Penutup

Acara yang berlangsung sekitar tiga jam itu dirasa masih sangat kurang oleh para peserta. Meskipun demikian, pertemuan tersebut ibarat benih-benih kesadaran yang ditaburkan untuk ditanggapi oleh komunitas umat beriman, khususnya gereja-gereja untuk peduli terhadap masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Ada sebuah cerita menarik yang ditulis oleh Anthony de Mello, dalam bukunya Doa Sang Katak II :


Pada jaman dulu adalah seorang yang sibuk membangun rumah untuk dirinya sendiri. Ia mau supaya rumahnya menjadi rumah yang paling indah, paling hangat dan paling nyaman di seluruh dunia.


Seseorang datang kepadanya minta pertolongan karena bumi terbakar. Akan tetapi ia hanya tertarik pada rumahnya, tidak pada bumi.


Ketika akhirnya ia selesai membangun rumahnya, ia sadar bahwa ia tidak mempunyai bumi untuk menempatkannya.


Cerita tersebut mengingatkan kita bahwa apapun yang kita lakukan selama hidup akan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki kepedulian terhadap bumi atau tempat dimana kita berpijak. Bumi tempat kita tinggal, hanyalah ada satu dan itupun bukanlah milik pribadi. Kearifan untuk menjaga dan memeliharanya adalah tanggung jawab bersama. Oleh karena itu, tepatlah yang dikatakan oleh Dr. Rowan Williams bahwa masalah perubahan iklim ini adalah masalah moralitas. Hal itu berarti bukan menjadi tanggungjawab kelompok tertentu, tapi menjadi tanggungjawab semua umat manusia yang beragama apapun. Itulah salah satu alasan pertemuan ini diselenggarakan di GKPB Bukit Doa-Kompleks Puja Mandala, Nusa Dua, Bali. Gereja yang disekelilingnya juga terdapat empat bangunan ibadah umat beragama lain yang menjadi symbol kebersamaan dalam memuja Sang Khalik. (esl)









*) COP13-CMP3 merupakan singkatan yang menunjukkan bahwa pertemuan ini merupakan sesi ke-13 dari konferensi berbagai kelompok untuk Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim dan sekaligus sesi ke-3 dari pertemuan kelompok untuk (paska) Kyoto Protocol.

2 komentar:

reve6tion mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
bLog phi... mengatakan...

siang pak...
phia dah upload pic nya..
tugas mas telkom juga dah dikumpul...
smoga tidak mengeewakan, hehe...

btw, bus way on the way...
salut buat bapak...tapi ada sedikit yang aneh menurut saya, seringkali orang-orang membahas "jawa" tapi pake bahasa inggris, hehe...frans magniz juga..

gimana nie persiapan buat X'Mas pak?