10 Juli 2008

Monggo Pinarak Mriki!

Liburan semester pada tahun ketiga di Fakultas Theologia UKDW biasanya diisi dengan program live-in di desa-desa sekitar Gunung Kidul. Program ini merupakan program lapangan dari kuliah Teologi Sosial. Dalam program tersebut kami harus tinggal bersama dengan penduduk desa selama + 10 hari dan melakukan observasi/pengamatan terhadap kehidupan masyarakat setempat, khususnya keadaan sosial dan perekonomian mereka. Untuk selanjutnya kami harus membuat proposal yang berisi program pemberdayaan yang memungkinkan untuk dilaksanakan beserta refleksi teologis yang harus dipresentasikan untuk selanjutnya diserahkan kepada LPM Duta Wacana untuk ditindaklanjuti, tentu saja kalau memungkinkan, atau tepatnya ada danannya…barangkali…..


Selama di Gunung Kidul, kami dibagi dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 orang, dengan minimal seorang yang bisa berbahasa Jawa, yang berperan sebagai penerjemah bila dibutuhkan. Seiring dengan berjalannya waktu ada sebuah kelompok dimana hanya ada satu orang yang bisa berbahasa Jawa dengan baik, seorang yang lain hanya bisa bahasa ngoko. Ketiga orang yang lain berasal dari Sumatera dan Ambon.


Seiring dengan berjalannya waktu, nampaknya ada ungkapan yang sangat berkesan bagi kelompok teman kami itu ketika berjumpa dengan orang di desa tersebut. Setiap melewati rumah penduduk, mereka selalu mendengar kalimat: “Monggo mbak, mas, pinarak mriki!” (Mari, mbak, mas, mampir kemari. Sebenarnya arti harafiahnya: Mari mbak, mas, duduk disini). Tanpa sadar, keempat teman yang lain menganggap kalimat itu sebagai suatu sapaan hormat yang harus diucapkan pada seseorang ketika berjumpa dengan orang lain. Karena itu ketika teman-teman kami dari Ambon dan Sumatera berjalan dan berpapasan dengan penduduk di jalan, mereka mengucapkan: “Monggo Pak, Bu, pinarak mriki!” Tentu bisa dibayangkan betapa terheran-herannya penduduk desa itu ketika bertemu dengan temanku itu, masakkan disuruh mampir dan duduk di jalanan……..ha…ha…..ha….. Tapi bagaimanapun juga penduduk desa itu tetap menyambut dengan senyuman ramah, mungkin karena mereka maklum temanku itu bukan orang Jawa.


Pada suatu sore, tibalah waktunya untuk mandi, ada tiga teman perempuan yang antri untuk mandi di bedeng dekat sungai. Seorang teman dari Kroya baru saja selesai mandi, sekarang tiba giliran teman yang berasal dari Sumatera. Setelah dia selesai mandi, dia mencoba membungkus tubuhnya dengan handuk besar sebelum berdiri dan beranjak keluar dari bedeng. Namun sebelum selesai dia membungkus tubuhnya dan dengan posisi setengah berdiri, muncullah rombongan bapak-bapak yang baru saja pulang dari ladang sambil membawa cangkul. Melihat rombongan bapak-bapak itu, teman saya ini menjadi salah tingkah. Entah malu, entah kenapa……tiba-tiba dengan tersenyum, temanku ini menyambut senyuman para bapak ini dan dengan percaya diri menyapa mereka: “Monggo pak, pinarak mriki………!!!!” Wah, bisa dibayangkan bagaimana reaksi para bapak itu mendengar sapaan temanku ini. Mereka hanya senyum-senyum dan mungkin sedikit tersipu malu, tapi juga heran… Masak, sudah jelas ada di bedeng untuk mandi kok malah mengajak mampir ke dalam..!


Mungkin orang bisa berkomantar : “Itulah akibatnya, kalau orang sok ramah!” Ada benarnya memang komentar itu. Tapi adalah lebih benar untuk belajar bersikap menghargai dan menyambut orang lain yang mungkin sama sekali belum pernah dikenalnya dengan ketulusan. Mungkin bahasa bisa menjadi kendala dalam menyapa, menghargai dan menyambut sesama yang belum pernah kita kenal sebelumnya. Tapi perbedaan yang ada, baik bahasa ataupun suku juga bisa dijadikan bukan kendala. Karena siapapun kita dan apapun juga perbedaan yang ada pada kita, selama kita masih mengaku diri sebagai manusia, dan menyadari kemanusiaan kita, berarti kita masih punya hati. Hati adalah sesuatu yang universal. Sekalipun warna kulit berbeda, golongan darah berbeda, bahasa berbeda, tapi manusia punya hati nurani yang memungkinkan kita berkomunikasi, ya….. berkomunikasi dengan bahasa hati, bahasa cinta, bahasa universal umat manusia. Di tengah semaraknya bahasa kekerasan di sekitar kita yang dapat menenggelamkan bahasa cinta, bahasa nurani, sebaiknya kita ikut bersama dengan teman saya di dalam keterbatasannya berseru: Monggo “pinarak mriki” Roh Suci, Roh Katresnan!…Come Holly Spirit!, O come Spirit of love and stay within us!…….. Mampirlah kemari Roh Kudus, Roh Cinta Kasih dan tinggallah dalam diri kami!


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Hemmm..
Memang benar... ketika kita mengucapkan dengan ketulusan hati pasti apapun yang kita katakan dan lakukan akan tetap berkenan di hati setiap orang